Senandung Cinta Bidadari Kecil (Cerpen)

02.29 Unknown 0 Comments

Pernah dengar kisah malin kundang? Aku rasa semua mengenalnya. Jika malin kundang tidak mengakui ibunya berbeda dengan kisahku. Ibu kandungku tak pernah menganggapku ada. Harta sepertinya menyilaukan matanya. Hanya selang 2 bulan sepeninggalan Ayahku, ibu telah membawa pulang Kapten Bhirawa yang terkenal kaya raya sebagai penggantinya. Aku dititipkan ke nenek yang sudah tua renta setiap kali si Kapten di rumah. Ibu mengaku tidak memiliki anak dari perkawinannya dengan almarhum Ayah. Umurku yang masih 7 tahun pada saat itu tak mampu berbuat banyak. Aku hanya menerimanya walaupun setiap malam nenek disibukkan untuk menghentikan tangisan kepedihanku. Sempai aku memiliki keluarga sendiripun Ibuku tak bergeming. Di idul fitri kemarin aku beserta istri dan anak perempuanku bersilaturahmi ke rumah Ibu namun apa yang kudapat? Belum sampai di depan rumahnya, ibu mengusirku dengan isyarat tangan. Alhasil anakku tak pernah mengenal neneknya.

Pendidikan tinggi tak pernah ku kenyam. Itulah yang menyebabkan aku hanya mampu bekerja sebagai penjual mainan yang setiap malam berkeliling di alun-alun kota Surabaya. Tak banyak recehan yang aku peroleh. Ditambah lagi anak-anak sekarang lebih banyak memilih permainan di alat komunikasinya. Alasannya tidak mau ketinggalan jaman, padahal sebenernya mereka termakan oleh jaman. Tak lebih dari sepuluh orang yang melirik barang daganganku di setiap malam. Kehidupan serba kekurangan itulah kehidupan keluargaku.

Aku tak pernah mengira. Kenyataan pahit kembali menimpa kehidpanku. Wanita yang aku nikahi selama 6 tahun pergi tanpa pamit. Tak ada sepatah kata pun Ia ucapkan. Hanya ku temukan sebuah surat cinta yang di dalamnya tertulis nama lelaki lain. Saat anakku menanyakan keberadaan ibunya, bibirku tak mampu bergerak untuk menjawabnya. Selang setahun anakku mulai terbisa tak mendengar senandung cinta dari ibu yang mengiringi tidurnya. Setiap bangun pagi aku selalu menjumpai anakku yang sudah berseragam rapi khas anak TK. Mungkin karena melihat ayahnya yang selalu pulang larut malam untuk bekerja, dia belajar untuk mempersiapkan keperluannya sendiri di usianya yang sangat belia. Di pagi hari Ia membangunkannku hanya ketika perutnya mulai keroncongan. Ku beri uang lima ribu perak dan Ia langsung menuju warung dekat rumah. Untung aku memiliki tetangga yang sangat peduli, tanpa diminta pun mereka menjaga anakku sewaktu ku mengumpulkan recehan di alun-alun.

Inilah hidupku. Bagiku hidup adalah sebuah keikhlasan. Mugkin aku tak mempunyai banyak uang, hanya bidadari kecilkulah hartaku. Senyum manisnya membuatku tetap bertahan menjalani kehidupan fana ini. Aku yakin Tuhan mempunyai rencana yang indah di dibaliknya. Yang aku mampu hanya menjalani dengan sepenuh hati.

You Might Also Like

0 komentar:

Bagi pendapat Sob...