Uang Bukan Segalanya
Seminggu yang lalu, aku berkesempatan menunjungi daerah yang sering
menjadi tujuan utama wisata, bahkan namanya sudah mendunia. Orang asing
pun jika ditanya tenntang Indonesia pasti tidak tahu, berbeda jika
menyebutkan daerah wisata tersebut pasti langsung mengetahuinya padahal
daerah tersebut bagian dari Indonesia juga. Di sini aku tidak ingin
menyebutkan nama daerahnya. Ceritanya aku ke sana dengan hajat Kuliah
Kerja Lapangan (KKL) yang setiap mahasiswa semester 4 di fakultasku
diwajibkan untuk melaksanakannya.
Tujuan intinya adalah mengetahui kegiatan ekonomi secara langsung
yang sebelumnya kita hanya mengetahui teori-teorinya saja di bangku
kuliah. Sambil menyelam minum air, ya belajar sekalian berefreshing. Ke
dareah tersebut sekaligus mengunjungi beberapa tempat wisata, sekedar
melepas penat.
Di jalan-jalan sudah tak aneh lagi banyak
dijumpai turis-turis asing. Agaknya masyarakat sekitar sudah terbiasa,
berbeda jika di daerah lain kedatangan satu saja warga Negara lain pasti
langsung jadi tontonan jutaan mata. Aku tak heran karena memang
kabarnya daerah tersebut sudah menjadi tempat wisata warga asing sejak
sebelum Indonesia merdeka. Hal itu menjadi kebanggaan sendiri bagi
Indonesia.
Satu pemandangan yang tidak sedap untuk dilihat adalah saat ada
wisatawan local dan wisatawan asing memasuki sebuah objek wisata. Sangat
terlihat jelas akan ada perbadaan pelayanan. Turis asing akan lebih
dilayani dengan sangat ramah bahkan sangat sopan. Berbeda dengan turis
lokal, pasti akan dipandang dengan sebelah mata oleh masyakat sekitar.
Mungkin dikarenakan turis asing lebih berduit.
Suatu ketika aku dan beberapa temanku mencoba salah satu permainan
air (objek wisata pantai), mereka menyebutnya mengunjungi pulau penyu.
awalnya aku sedikit merasa aneh dikarenakan aku ingat bahwa disekitar
tempat itu tidak ada pulau yang dekat. Dengan penuh rasa penasaran aku
bersama 9 teman lainnya naik keperahu dengan biaya Rp.40ribu rupiah
untuk melihat penangkaran penyu dan kabarnya disana juga ada kalong,
ular, landak serta landak. Pemandu wisata menjelaskan bahwa nanti saat
ditengah laut, kapal akan diberhentikan sejenak agar kita bisa melihat
keindahan bawah laut melalui kaca yang terpasang pada bawah kapal dan
juga akan diberi roti tawar agar bisa memberi makan ikan. Namun nyatanya
setelah sampai ditengah laut, kita tak diberi roti tawar dan juga waktu
kita untuk melihat pesona terumbu karang sangat sebentar berbeda dengan
kapal sebelah yang memuat turis asing, mereka diberi waktu yang relatif
lama. Bahkan turis asing pun dibekali dengan baju pelampung. Memang
biaya yang dikeluarkan oleh turis asing dan local sangat berbeda namun
pakah hal tersebut mengakibatkan turis local diabaikan?
Tidak berhenti di situ saja, sampai dipulau penyu yang belakangan aku
ketahui bahwa bukan pulau lain melainkan menyatu dengan daerah
tersebut, beberapa temanku yang ingin berfoto dengan penyu kurang
dilayani dengan baik oleh pengelola. tanpa permintaan, pengelolapun
langsung mengangkat penyu dari penangkaran dan menyerahkan ke turis
asing agar mereka bisa berfoto dengan penyu. berbeda jika yang dating
adalah turis local, mereka hanya diam saja. Alhasil, teman-teman yang
ingin berfoto dengan penyu pun harus antri menunggu si bule selesai
berfoto.
Aku sungguh merasa tidak nyaman dengan perbedaan pelayanan tersebut.
Pakah mungkin hanya karena turis local tak banyak uang dibandingkan
dengan turis asing menjadikan orang dengan kebangsaan dan setanah air
tidak terlalu dihargai. Agaknya uang adalah musuh terbesar bagi semua
orang dan memiliki daya tarik yang luar biasa sekali. Semoga ditempat
lain tak ada perlakuan demikian terhadap turis local.
0 komentar:
Bagi pendapat Sob...